Revisi UU KPK Ditolak KPK

Revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK terang-terangan ditolak oleh Pimpinan KPK. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyampaikan untuk tidak melakukan revisi UU KPK pada 2015. "Mengingat tahun ini bukan waktu yang tepat dan tidak kondusif," kata Pelaksana Tugas (Pit) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, (30/11).

Rapat antara pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Jumat (27/11), menyetujui revisi UU KPK masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Jika DPR tetap memaksakan pembahasan revisi UU KPK, maka KPK hanya menyetujui perubahan UU atas dasar usulan dari KPK, bukan draf dari pemerintah ataupun DPR, Indriyanto menegaskan.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai, jadi atau tidaknya revisi UU KPK di DPR tergantung sikap Jokowi. Dalam Pasal 49 dan Pasal 50 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diterangkan, pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan surat presiden (surpres). "Artinya, tanpa adanya surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan," ujar Miko.

Miko melanjutkan, janji Jokowi untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi sebagaimana dituangkan dalam Nawacita kembali ditagih oleh masyarakat, Menurut dia, tanpa sikap yang jelas, sama saja Jokowi menyetujui ataupun berdiam diri dalam berbagai rangkaian upaya pelemahan KPK. "Nasib revisi UU KPK ada di Jokowi."

Pemerintah hanya akan menyetujui empat poin dalam pembahasan revisi UU KPK. Yakni, kewenangan KPK dalam mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, dibentuknya dewan pengawas KPK, dan poin pengaturan penyadapan oleh KPK. "Nggak ada hanya empat itu saja, kita kawal itu, nggak mau lebih dari itu," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Senin (30/11).

Luhut mengatakan, tidak ada pemaksaan dalam revisi UU KPK tersebut. Karena, menurutnya, salah satu poin yang dipermasalahkan, yakni dibentuknya dewan pengawasan KPK sudah sejak awal direncanakan, tapi hal tersebut urang dilakukan. "Dulu konsep awal 15 tahun lalu memang ada pengawasan, tapi berjalannya waktu, mereka mengacu pada UU KPK, seperti yang dibuat di Hong Kong," ujarnya..(KPK/Rep)

2.800 Nelayan Cirebon Dapat Asuransi Gratis untuk 2.800 Nelayan Cirebon

2.800 nelayan asal Kota dan Kabupaten Cirebon mendapatkan asuransi gratis. Pemberian asuransi gratis ini merupakan inistiatif dari Direktorat Polisi Air Polda Jabar dengan Cirebon Electric Power (CEP) PLTU Kanci Cirebon. “CEP punya dana CSR. Agar manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat, dana tersebut digunakan untuk membayar asuransi para nelayan,” ujar Direktur Polair Polda Jabar, Kombespol Yasril Zakir, Kamis (3/12/2015).

Dengan adanya asuransi tersebut, jika nelayan mengalami kecelakaan baik luka atau meninggal dunia, maka akan mendapatkan asuransi. Jika meninggal dunia dan cacat, nelayan akan mendapatkan asuransi sebesar Rp10 juta, sedangkan luka-luka akan mendapatkan asuransi sebesar Rp1 juta. “Masyarakat tidak membayar karena premi asuransinya yang bayar dari CEP,” kata Yazril.

Program ini sudah berjalan sejak 2011. Namun, pemberian asuransi ini hanya diperuntukkan bagi nelayan di Kota dan Kabupaten Cirebon. Untuk mendapatkan asuransi, nelayan bisa mendaftarkan diri langsung ke Ditpolair Polda Jabar dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga. “Asalkan dia nelayan dan tingal di Kota atau Kabupaten Cirebon, maka bisa mendapatkan asuransi ini. Dengan catatan kuotanya masih memenuhi,” kata Yazril. Untuk 2016, nelayan yang akan mendapatkan asuransi ini bertambah menjadi 3.000 orang. (metronews)

Antara Korupsi dan Demokrasi

Dalam kurun 2004-2015, KPK telah memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/wali kota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I, II, dan III. Bandingkan dengan masa sebelum KPK, pejabat yang dipenjara akibat korupsi bisa dihitung dengan jari. Keganasan KPK dalam menjerat "orang-orang kuat" seharusnya dapat menciptakan efek jera dan efek gentar. Harapannya, korupsi terkikis sedikit demi sedikit di negeri ini.

Namun, faktanya, perkara korupsi tak menyusut sama sekali. Jumlah terdakwa korupsi yang diseret ke pengadilan oleh KPK bahkan meningkat dari 36 orang pada 2012 menjadi 41 orang pada 2013, dan 50 orang pada 2014. Tahun ini, dalam waktu sembilan bulan, sudah 47 orang diadili. Dapat dipastikan, jumlah orang yang dibawa ke pengadilan tahun ini melampaui tahun sebelumnya.

Jika demikian, benarkah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tak efektif? Tentu tidak bisa langsung disimpulkan demikian. Persoalan ini harus dilihat secara menyeluruh. Saat ini, Indonesia masih berada dalam masa transisi, dari negara otoriter menjadi demokratis. Meskipun secara kelembagaan sudah memenuhi syarat, dalam praktiknya, demokrasi Indonesia belumlah matang.

Peneliti korupsi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, mengatakan, pada awal demokrasi, korupsi cenderung meningkat. Ketika korupsi meningkat, tingkat kompetisi antar partai dalam memperebutkan sumber daya untuk membiayai aktivitas mereka pun semakin ketat.

Namun, peningkatan kompetisi dan kematangan masyarakat dalam berdemokrasi akhirnya mendorong tumbuhnya transparansi. Pada tahap inilah korupsi cenderung menurun. Titik terendah korupsi akan tercapai ketika tingkat demokrasi semakin tinggi. Ini terlihat pada negara-negara yang demokrasinya telah matang, seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, dan Norwegia.

Kenaikan skor indeks persepsi korupsi menunjukkan kerja KPK sudah on the track. Namun, KPK tak bisa bekerja sendiri memberantas korupsi. Jadi, pemerintah dan semua pemimpin bangsa ini jangan gamang dan ragu dengan kerja KPK. Pelemahan terhadap KPK justru akan memperlambat kematangan demokrasi dan ekonomi Indonesia. (kp/kpk)